Selasa, 05 Januari 2010

RUMAH MELAYU

RUMAH SUKU MELAYU "BELALAI GAJAH MINUM"

 

RUMAH MELAYU

 

Rumah suku Melayu berbentuk "belalai gajah minum". Rumah berbentuk tinggi, dengan tiang kira-kira dua meter diatas tanah. Gunanya untuk menghindarkan diri dari banjir dan serangan binatang-binatang buas pada zaman dahulu kala. Dihalaman rumah melayu penuh ditanam pohon kelapa dan buah-buahan, serta tumbuh-tumbuhan kecil lainnya, biasanya berguna untuk ramuan obat-obatan ataupun untuk ulam (lalap).

 

Disamping anak tangga muka, tersedia tempayan atau guci berisi air untuk mencuci kaki sebelum orang naik ke rumah. Anak tangga bahagian muka bertingkat tiga, kemudian ada pula pelataran dan kembali ada beberapa anak tangga yang jumlahnya ganjil.

Serambi muka, adalah ruangan tempat menerima tamu-tamu biasa. Disana ada jendela yang dihiasi dengan jerjak-jerjak yang di ukir-ukir dengan baik. Dari serambi muka, kita masuk keserambi tengah, lebih tinggi dari serambi muka. Kedua serambi ini kadang-kadang terpisah oleh dinding, kadang-kadang tidak.

 

Disinipun ada beberapa jendela, dengan hiasan yang sama. Ruangan ini dipergunakan untuk menyambut orang-orang yang disegani, tempat makan bersama atau tidur bersama-sama.

 

Pada suatu sudut dari ruangan tengah ini ada anak tangga menuju tingkat atas yang namanya "para". Yaitu tempat anak gadis (dara) berdiam. Letaknya persis di atas serambi tengah, seakan-akan sebuah loteng.

 

Disebelah serambi tengah, ada serambi belakang yang lebih rendah sedikit, tanpa dinding pemisah dengan serambi lainnya. Serambi ini tempat para wanita menyambut tamu-tamunya atau tempat untuk menyelesaikan kerja sehari-hari.

 

Dapur Melayu, lantainya agak jarang, sehingga dari celah-celah lantai segala kotoran dapur dapat dibuang dengan mudah.

 

Rumah melayu tidak mempunyai Kamar-kamar yang banyak. Ia di diami oleh keluarga, yaitu satu unit kecil dari masyarakat. Ukir-ukiran yang dibuat sebagai hiasan rumah. Sekaligus berfungsi sebagai ventilasi, umumnya bermotifkan bunga seroja.

 

 

UKIRAN-UKIRAN EMAS ATAU PERAK.

 

Didalam bidang kerajinan tangan, membuat ukir-ukiran dikenal berbagai ragam bentuk ukir-ukiran dengan motif daun-daun atau bunga-bunga. Terkenal bermacam benda ukiran yang terbuat dari perak atau emas, seperti OGOK (tempat menyimpan azimat) DOKOH (rantai panjang) kerabu emas, ikat pinggang yang terbuat dari emas atau perak.

 

Ada yang disebut DALUNG atau PAHAR. Yaitu suatu bentuk seperti talam (baki) terbuat dari tembaga dan pinggirnya berukir, dan berkaki, dipergunakan untuk tempat hidangan makanan SEMBERIT, yang bentuknya seperti talam juga, diatas dapat diletakkan pinggan makanan yang terbuat dari tembaga berukir. BOKOR terbuat dari tembaga gunanya untuk alas piring hidangan yang turut dihidangkan.

 

Dipesisir Timur Sumatera, Melayu-melayu membuat Perahu-perahu yang ukir-ukirannya berbentuk PALLAWA dan ukir-ukiran India lainnya. Semua ini mengingatkan kita akan pengaruh-pengaruh Hindu sebelum datangnya Islam yang dibawa oleh pedagang-pedagang dari India Selatan atau orang-orang Tamil (keling) langsung kepulau Sumatera.

 

 

MENENUN

 

Bidang pertenunan juga dikenal oleh suku Melayu, pusat kerajinan tangan ini adalah Batubara. Tenun Batu Bara sudah dikenal sejak abad ke-18. Warna dasar kain adalah hijau tua atau biru tua. Benang yang dipergunakan benang katun. Motif kain kecil-kecil diatas dasar kain yang berwarna hijau tua tadi, dicap dengan sebuah Blok kayu yang sudah diukir serta sudah disemir dengan lem, kemudian ditutup dengan daun emas yang dilengketkan kepada motif-motif yang sudah dilem tadi.

 

Satu cara lain kain sungkit, kain tenun diletakkan diatas bangku tenun lalu disungkit dengan kalam mergat barulah dimasukkan benang emas, lalu dipijaah karab barulah dimasukkan benang ini dipukul dengan sisir. Kalam (alat penyungkit) yaitu alat untuk menentukan besar atau kecilnya motif tenunan.

 

 

MENGANYAM TIKAR

 

Dipinggir-pinggir pantai biasa tumbuh, tumbuh-tumbuhan yang berwarna hijau, daunnya panjang-panjang agak berduri-duri kecil di ujung daunnya. Nama tumbuhan itu biasa disebut Pandan. Daun Pandan ini dijemur, kemudian dijadikan bahan untuk kerajinan tangan yang menghasilkan apa yang biasa dikenal dengan "anyaman tikar".

 

Tikar-tikar yang dianyam dengan indah oleh suku Melayu telah dikenal oleh pelawat-pelawat Cina 500 tahun yang lampau di daerah ini.

 

 

SIRIH SUGUHAN UTAMA 

 

Buat orang Melayu, Sirih dengan alat-alat pengiringnya merupakan suguhan utama. Tepak Sirih beserta sirih, kacu, pinang yang di belah-belah, kapur dan tembakau, adalah suguhan yang tetap "disorongkan" baik menyambut tamu maupun di dalam melakukan upacara-upacara adat lainnya.

 

Sifat sirih yang jika dimakan bersama gambir akan berubah menjadi warna merah, melambangkan keberanian. Kapur yang putih bersih menyatakan kesucian. Gambir (kacu) yang rasanya kelat menyatkan keuletan. Pinang, karena pohonnya lurus da didalam buahnya warna putih, melambangkan hati yang terbuka. Sedangkan tembakau yang sifatnya memabukkan dapat melambangkan buruk atau baik.

 

Dari sinilah diperoleh istilah "sekapur sirih" yang biasa diberikan untuk "persembahan", biasa dimakan untuk tangkal setan ataupun disemburkan sebagai obat.

SUKU GAYO BUKAN ORANG BATAK

SUKU GAYO BUKAN ORANG BATAK

 

Boleh jadi pengumuman ini akan menggemparkan pula ? Suku Gayo selama ini disebut orang suku batak, lalu saya nyatakan kini suku Gayo itu bukanlah orang-orang Batak,

 

kalau kita memakai Tarombo, Batak sebagai sumber, terang diceritakan orang Gayo itu asalnya dari Batak. Orang Batak itu bergerak dari Samosir ke Timur dan Barat, Utara dan Selatan. Atau kalau kita memakai cerita dari Sisingamangaraja, orang Gayo itu menurut cerita itu, disuruh oleh salah seorang dari Sisingamangaraja, sebanyak 12 orang pergi ke arah Gayo, itulah yang mengembangkan Suku Gayo. Asal dari 12 orang dari rumpun Batak tadi. Ini boleh jadi ?! Tapi tidak ada pembuktian, bahwa di masa itu suku Gayo belum ada ?.

 

Sisingamangaraja mulai muncul di tanah Batak kira-kira abad ke 14 ? Sedang kerajaan Lingga yang ada di Gayo Alas sudah di dengar oleh Marco Polo ada disana dalam tahun 1292 M. Jadi belum lahir lagi Sisingamangaraja ke-I. Kerajaan Lingga Gayo sudah berdiri di pegunungan sezaman dengan kerajaan Pasai di Aceh Utara, jadi cerita itu dapat tertolak dengan sendirinya.

 

Alasan lagi selama ini, menyebut Gayo itu Batak, ialah karena mereka menganut adat Dalihan Natolu. Ini benar !, tapi adat Gayo ada pula yang berlawanan dengan Tradisi Batak. Seperti kawin di tanah Batak pihak perempuan datang ke rumah laki-laki. Tapi di Gayo malah sebaliknya, seperti adat Sumando, silaki-laki datang kerumah Perempuan. Ini tradisi asli sukar dirobah !

 

Jadi ada yang menduga Gayo itu Batak, ada pula yang menduga tidak.

 

Kini marilah kita, mengambil sumber dari hikayat Raja-raja Pasai. Naskah ini di tulis di abad ke 16. Naskah tua ini masih terdapat pada perpustakaan Royal Society di London. Pernah disalin ke huruf Rumawi di tahun 1914 dan diterbitkan oleh JP. Mead London. Dalam buku itu diceritakan orang-orang Gayo itu di sebut orang-orang yang lari ke pegunungan karena tidak mau masuk Islam. Sebab itu mereka disebut Gayo = lari. Jadi mereka-mereka itu, adalah mulanya orang-orang Melayu Pesisir Sumatera Utara lalu lari ke pegunungan karena tidak mau masuk Islam. Jadi kalau menurut sumber ini Gayo itu, tidaklah Batak. Rupanya sesudah berada di pegunungan, barulah datang suku Batak membawa adat Dalihan Natolunya, lama-lama mereka melakukan isimilasi kawin campur aduk maka lahirlah Dalihan Natolu sebagai adat istiadat suku Gayo, tapi tradisi aslinya yang lain-lain yang tidak serupa dengan Batak juga hidup terus di daerah Gayo. Adat tepi lautnya masih terang di bawanya. Seperti bercelana suka kain batik, lebar ke bawah kaki celana, ini pengaruh-pengaruh pesisir laut.

 

Perkawinan yang memakai sunting mani-manik di kepala, ini terang melayu pesisir Pasai, bukanlah Batak, lagu-lagunya berirama Melayu campur irama Arab, membuktikan betul-betul Gayo itu adalah Melayu Pasai.

 

Cerita hikayat Raja-raja Pasai itu agaknya betul-betul begitulah ! Sungguh tepat ! Suku Gayo bukanlah orang-orang Batak, tapi berasal dari Melayu  Pesisir Kerajaan Pasai yang lari kepegunungan lalu bersimilasi dengan suku Batak. Tapi sumbernya bukanlah Batak tapi Melayu Pasai !

KEBUDAYAAN SUKU KARO

KEBUDAYAAN SUKU KARO DI SUMATERA UTARA bagian 1.

 

Tanah Karo terkenal ke luar negeri karena Brastaginya dengan jeruknya yang manis.

 

Suku ini adalah juga satu cabang dari suku Batak. Suku-suku yang serupa rumpun kebudayaannya di Sumatera Utara dari suku Batak ialah Mandailing, Karo, Toba, Angkola, Pakpak, Gayo Alas.

 

Satu sama lain ada mempunyai bahasa tersendiri dan hurufnya. Bahasanya dari Rumpun yang satu di tambah dan berlainan disana-sini, karena alam dan keadaan sekelilingnya.

 

Kata "Karo" Artinya Ha roh = pertama datang. Kata Ha roh ini lama-lama menjadi Karo. Suku Karo terkenal pandai bermain Catur. Wanita-wanita berjuang sebagai tani atau pedagang-pedagang sayur, kain, mas dan lain-lain.

 

Biasanya keluarga-keluarga yang mati dibakar, seperti adat Hindu di India, lalu dihanyutkan ! Dari mana kebiasaan ini datangnya ? Mungkin sekali mendapat pengaruh India, percaya kepada animisme, setan, hantu, begu dan roh simati bisa mengganggu orang-orang yang masih hidup.

 

 

AGAMA PURBA DI TANAH KARO.

 

Agama Purba di tanah karo terdapat juga suatu agama pusaka lama, yaitu Perbegu. Kepercayaan ini banyak persamaannya dengan agama Hindu. Pembakaran mayat, meletakkan bunga-bunga di tepi jalan, memakai nama-nama Brahmana, Pelawi, Teikang dan sebagainya.

 

Brahma, Wisnu, Syiwa, terdapat juga dalam agama Perbegu tersebut (Animisme campur Hindu).

 

 

 

PENGARUH AGAMA ISLAM

 

Pengaruh agama Islam terdapat juga pada adat istiadat Karo. Di Gunung-gunung yang masih jauh dari perhubungan, Orang-orang Perbegu memakai mentera-mentera lama dengan ucapan "bismillahirrahmanirrahim". Ada juga tidak memakan Babi. Tapi banyak pula yang suka makan kodok, cacing dan sebagainya.

 

Nada lagu asli mereka, serupa dengan Nias, simalungun, karo. Belakangan ini banyak orang-orang Karo memasuki agama Islam dan banyak pula yang sudah jadi haji.

 

 

RUMAH ADATNYA SANGAT MENARIK.

 

Rumah adatnya sangat indah kelihatan. Atapnya memakai tanduk kerbau. Rupanya Tanduk kerbau ini menjadi lambang kebesaran suku-suku di Sumatera zaman purba. Suku Karo mengenal marga-marga yang terdiri atas 5 bahagian :

1.  Perangin-angin

2.  Karo-karo

3.  Ginting

4.  Sembiring

5.  Tarigan

 

kelima marga ini menjunjung kerbau sebagai binatang yang mulia. Seperti Minang Kabau, Karo juga memakai tanduk kerbau sebagai lambangnya.

 

Berbeda dengan Batak, rumah Batak atapnya seperti sadel kuda, karena kuda di muliakan di Toba, lebih dari kerbau. Boleh jadi suku Toba lebih dulu mengenal kuda dari tanah asalnya ?.

 

 

CARA PEMILIHAN UMUM DITANAH KARO.

 

Di zaman Iskandar Muda di Aceh 1607 s/d 1636, tanah Karo tunduk dibawah kedaulatan Aceh.

 

Raja Aceh disebut oleh rakyat "Tuan Kita". Iskandar Muda melakukan pemilihan seorang raja, lain pula caranya. Raja-raja dikumpulkan disatu tempat kemudian disuruh naik kerbau yang sudah ditetapkan. Mana orang itu yang terberat, itulah yang berhak jadi Raja. Sebagai tanda raja oleh Sultan Aceh kepada orang itu diberikan sebuah "keris bawar".

 

Demikianlah caranya pemilihan umum zaman dulu. Untuk itu ditetapkan 4 raja terbesar di tanah Karo. Suku Karo mempunyai huruf sendiri, biasanya ditulis dikulit bambu, dinamai "haraka" huruf. Asal keturuna diambil dari pada Ayah.